Berasal dari Desa Pagar Din, Kecamatan Ulok Kupai, Kabupaten Bengkulu Utara, yang dihuni oleh Suku Pekal.
Kehidupan Awal: Desa ini terpencil dan terisolir, mayoritas penduduknya adalah petani karet atau sawit. Listrik baru masuk pada tahun 2010.
Masah (Abdul Gafur): Hilang pada tahun 1900-an, kembali setelah belajar silat dan pengobatan di Gunung Dempu, diajari oleh ibunya, Ribu.
Syarif: Anak Masah yang juga belajar silat dan pengobatan setelah menghilang dan kembali dari Gunung Dempu.
Pindah ke Curup: Datuk Syarif dan Datuk Dulah merantau ke Curup, Rejang Lebong, karena kesulitan ekonomi, mengajarkan silat dan pengobatan tradisional.
Murid-Murid: Mengajarkan silat kepada murid-murid, termasuk Nineng Tunip dan saudaranya, yang berasal dari Talang Sali, Seluma, Bengkulu.
Pindah ke Ketapang: Nineng Tunip bersaudara pindah ke Ketapang, Lampung Selatan, kemudian ke Palas Pasemah untuk bercocok tanam dan mengajarkan Silat Pergaulan.
Masa Pendudukan Jepang: Pertemuan dengan Bakas Mangkualam Hamid, yang menjadi murid dan menjalin hubungan erat dengan Nineng Tunip bersaudara.
Warisan Budaya: Silat Pergaulan diajarkan secara turun-temurun di berbagai wilayah, menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Melayu.
Lebih dari Bela Diri: Silat mengajarkan nilai-nilai moral, akhlak, dan cara hidup yang baik, termasuk menjaga hubungan baik dengan sesama dan menghindari konflik.
Pusat Pengajaran: Silat Pergaulan berkembang di Palas Pasemah, Kuripan Aji, Pagar Din, dan Tanjung Dalam, dengan pengajaran yang dilanjutkan oleh generasi penerus.
IPSM (Ikatan Pencak Silat Melayu) merupakan warisan budaya yang kaya, mengajarkan nilai-nilai moral dan filosofi hidup melalui seni bela diri. Dengan sejarah yang panjang dan pengajaran yang berkelanjutan, silat ini tidak hanya menjadi alat pertahanan diri, tetapi juga sebagai panduan hidup yang mengedepankan kedamaian, akhlak, dan hubungan baik antar sesama.